Kupandangi layar laptop, berkali-kali membaca tulisan tersebut. Kopi Oey Solo, 9 Juli 2011. Itu berarti dua hari lagi aku akan menemuinya. Gadis hasil penelusuran dunia maya.
Satu tahun lalu, aku membaca blog-nya dengan tidak sengaja. Entah apa yang aku cari di Google waktu itu, aku sendiri lupa, sampai mesin pencari paling terkenal di dunia itu menampilkan cuplikan blog-nya. Tulisan di blog-nya berisi cerita pendek mengenai cinta. Hal yang wajar untuk ditulis seorang gadis. Beberapa di antaranya adalah kisah bahagia, beberapa di antaranya bertepuk sebelah tangan. Aku mengikuti blog-nya selama beberapa bulan dan rajin memberi komentar. Sebelum akhirnya dia berhenti menulis hingga saat ini. Beberapa posting terakhir sepertinya berkisah tentang kekecewaan dan patah hati. Posting terakhir di blog tersebut adalah tanggal 27 Agustus 2010.
Aku suka caranya menulis. Aku mencarinya di Facebook menggunakan nama yang tertera di blog-nya. Voila! Aku mendapatkannya, mengirim pesan, berkenalan, dan add. Voila lagi! Dia meng-confirm-ku. Kita resmi berteman di dunia maya.
Sampai tiba hari ini, kita janjian bertemu untuk pertama kalinya. Aku biarkan dia memilih tempat dan tanggalnya. Tempat tersebut merupakan satu-satunya tempat yang menyajikan minuman favoritnya, Milo Dinosaurus. Tak masalah, kami satu kota dan aku tahu tempat tersebut. Tanggal yang dipilihnya merupakan tanggal ulang tahunnya. Tak masalah, aku seorang jomblo dan tidak mempunyai keharusan berkencan di malam minggu dengan seorang pacar.
Aku memakai kaos putih bergambar Bart Simpson yang aku dobeli dengan kemeja kotak-kotak biru lengan panjang, celana jeans belel, dan sneaker putih. Bart Simpson terlihat konyol untuk bertemu dengan seorang gadis di malam minggu. Well, aku berusaha jujur pada diriku dan orang lain mengenai kepribadianku.
Lima belas menit aku menunggu gadis tersebut sejak jam 18.45. Aku tidak menyalahkannya, aku sengaja datang lebih cepat. Itulah kebiasaanku, lebih baik datang lebih cepat daripada terlambat dan membuat diriku tampak lebih buruk. Seorang cowok duduk di semester akhir dan masih suka menonton The Simpsons itu sudah membuatku tampak cukup buruk bagi orang lain.
Jam 19.05, seorang gadis masuk ke bagian belakang kedai kopi ini, tempat aku duduk sekarang. Itu dia. Manis sekali. Kaos ungu, jaket merah, celana jeans lusuh dan sandal jepit. Dia menenteng tas cokelat yang terlihat masih baru. Kasual, tapi manis dan menggemaskan.
“Adam?” tanya gadis itu sambil memandangi kaosku.
“Seperti yang aku janjikan, kaos bergambar Bart dan tampang bule yang sudah tidak dapat aku ubah-ubah lagi,” jawabku. “It’s nice to meet you on real world, Dian.” Aku mengulurkan tangan untuk berkenalan.
“Don’t use English when we meet face to face like this,” balasnya sambil tertawa ringan dan membalas uluran tanganku.
“Baiklah. Hanya ingin sedikit pamer, sih,” candaku. Aku setengah Indonesia, setengah Inggris. Hidup di Solo sudah selama empat tahun.
“Dasar bule.”
Kita berdua tertawa. Awal yang bagus. Aku mempersilakannya duduk. Dia memesan Milo Dino. Sedangkan aku memesan Kopi Vietnam. “Kau pergi ke kedai kopi, tapi malah pesan susu sebagai minumanmu,” kataku sambil melihatnya menikmati cream Milo Dino-nya.
“Aku benci kopi. Seberapa banyak pun aku menaruh gula di dalamnya, tetap saja pahit. Hidup sudah cukup pahit, kawan.”
“Justru kita harus menelan kepahitan itu sendiri dan membuktikan bahwa kita berani melewatinya.”
“Yuck!” Dian mengernyit. “Kopi itu pahit. Cinta itu pahit. Kopi itu cinta. Hal yang aku hindari.”
“Kau tidak percaya cinta?”
Dian berhenti menikmati cream-nya dan memandangiku. Entah pandangan tidak percaya jika aku menanyakan hal tersebut atau pandangan tidak percaya bahwa dia membuat dirinya sendiri keceplosan menyebutkan filosofinya tentang kopi, cinta, dan pahit. “Bagiku, dua hati yang bersatu hanya terjadi pada orang lain dan film. Bukan diriku,” jawabnya. Muka menggemaskannya berubah serius dan sendu.
“Kau pernah jatuh cinta?” tanyaku.
“Dulu. Kemudian gagal. Jatuh cinta lagi. Dan gagal lagi. Begitu seterusnya. Hingga aku muak dan kehilangan arti cinta itu sendiri.”
“Bagaimana dengan persahabatan? Kau percaya?” Sekarang aku merasa seperti wartawan koran sedang mewawancarai seorang remaja.
“Jika persahabatan termasuk dalam kategori cinta, maka itu adalah satu-satunya cinta yang tidak bertepuk sebelah tangan yang pernah kualami.”
“Kau pernah membicarakan filosofimu ini kepada para sahabatmu?”
“Tidak. Mereka punya pandangan yang positif mengenai cinta. Cinta itu indah, sakral, dan manis. Itu menurut mereka. Aku tidak ingin merusak pandangan mereka. Mereka berhak mempunyai pandangan seperti itu.”
“Suatu saat pasti para sahabatmu akan mempunyai kehidupannya masing-masing, misalnya menikah atau bekerja di suatu tempat yang jauh dan menetap di sana, apa yang akan kau lakukan? Kau sendirian, ditinggalkan oleh cintamu.” Sial. Pertanyaanku sepertinya terlalu mendalam untuk pertemuan pertama. Aku benci mulutku, atau mungkin otakku, yang tidak bisa mengontrol apa yang seharusnya kukatakan.
“Itu… Itu yang selama ini kutakutkan. Entahlah.” Dian memandangiku dengan tatapan takut. “Bagaimana denganmu? Kau percaya cinta?”
“Aku percaya," jawabku. "Dan aku ingin menawarkannya padamu.”
“Apa?”
Aku angkat gelas Kopi Vietnam milikku.
“Jangan harap aku akan meminumnya,” kata Dian.
Aku meletakkan gelasku di hadapannya. Memaksanya. Dian menatap gelasku dengan sangsi, menimbang-nimbang.
“Satu tenggakan saja. Lagian kau punya Milo Dino yang sepertinya jauh lebih manis. Kau bisa meminum Milo Dino untuk menghilangkan rasa pahitnya,” kataku berusaha meyakinkannya. “Kau berhenti menulis blog karena kau tidak percaya cinta lagi, kan?”
“Kau menembak tepat pada sasaran, Adam,” kata Dian yang kemudian disusul dengan satu tenggakan Kopi Vietnam milikku olehnya.
“Yuuuccckkk!!!” Cepat-cepat Dian menyeruput Milo Dino-nya. Bukan menyeruput, lebih tepatnya menyedotnya.
“BWAHAHAHA!!! Welcome again to a thing called love!!!” seruku sambil mengangkat gelasku. “Selamat ulang tahun dan kembalilah menulis.”
NB: Gambar Kopi Vietnam diambil dari Cappucino Letter.
Aku suka caranya menulis. Aku mencarinya di Facebook menggunakan nama yang tertera di blog-nya. Voila! Aku mendapatkannya, mengirim pesan, berkenalan, dan add. Voila lagi! Dia meng-confirm-ku. Kita resmi berteman di dunia maya.
Sampai tiba hari ini, kita janjian bertemu untuk pertama kalinya. Aku biarkan dia memilih tempat dan tanggalnya. Tempat tersebut merupakan satu-satunya tempat yang menyajikan minuman favoritnya, Milo Dinosaurus. Tak masalah, kami satu kota dan aku tahu tempat tersebut. Tanggal yang dipilihnya merupakan tanggal ulang tahunnya. Tak masalah, aku seorang jomblo dan tidak mempunyai keharusan berkencan di malam minggu dengan seorang pacar.
Aku memakai kaos putih bergambar Bart Simpson yang aku dobeli dengan kemeja kotak-kotak biru lengan panjang, celana jeans belel, dan sneaker putih. Bart Simpson terlihat konyol untuk bertemu dengan seorang gadis di malam minggu. Well, aku berusaha jujur pada diriku dan orang lain mengenai kepribadianku.
Lima belas menit aku menunggu gadis tersebut sejak jam 18.45. Aku tidak menyalahkannya, aku sengaja datang lebih cepat. Itulah kebiasaanku, lebih baik datang lebih cepat daripada terlambat dan membuat diriku tampak lebih buruk. Seorang cowok duduk di semester akhir dan masih suka menonton The Simpsons itu sudah membuatku tampak cukup buruk bagi orang lain.
Jam 19.05, seorang gadis masuk ke bagian belakang kedai kopi ini, tempat aku duduk sekarang. Itu dia. Manis sekali. Kaos ungu, jaket merah, celana jeans lusuh dan sandal jepit. Dia menenteng tas cokelat yang terlihat masih baru. Kasual, tapi manis dan menggemaskan.
“Adam?” tanya gadis itu sambil memandangi kaosku.
“Seperti yang aku janjikan, kaos bergambar Bart dan tampang bule yang sudah tidak dapat aku ubah-ubah lagi,” jawabku. “It’s nice to meet you on real world, Dian.” Aku mengulurkan tangan untuk berkenalan.
“Don’t use English when we meet face to face like this,” balasnya sambil tertawa ringan dan membalas uluran tanganku.
“Baiklah. Hanya ingin sedikit pamer, sih,” candaku. Aku setengah Indonesia, setengah Inggris. Hidup di Solo sudah selama empat tahun.
“Dasar bule.”
Kopi Vietnam |
Kita berdua tertawa. Awal yang bagus. Aku mempersilakannya duduk. Dia memesan Milo Dino. Sedangkan aku memesan Kopi Vietnam. “Kau pergi ke kedai kopi, tapi malah pesan susu sebagai minumanmu,” kataku sambil melihatnya menikmati cream Milo Dino-nya.
“Aku benci kopi. Seberapa banyak pun aku menaruh gula di dalamnya, tetap saja pahit. Hidup sudah cukup pahit, kawan.”
“Justru kita harus menelan kepahitan itu sendiri dan membuktikan bahwa kita berani melewatinya.”
“Yuck!” Dian mengernyit. “Kopi itu pahit. Cinta itu pahit. Kopi itu cinta. Hal yang aku hindari.”
“Kau tidak percaya cinta?”
Milo Dino |
Dian berhenti menikmati cream-nya dan memandangiku. Entah pandangan tidak percaya jika aku menanyakan hal tersebut atau pandangan tidak percaya bahwa dia membuat dirinya sendiri keceplosan menyebutkan filosofinya tentang kopi, cinta, dan pahit. “Bagiku, dua hati yang bersatu hanya terjadi pada orang lain dan film. Bukan diriku,” jawabnya. Muka menggemaskannya berubah serius dan sendu.
“Kau pernah jatuh cinta?” tanyaku.
“Dulu. Kemudian gagal. Jatuh cinta lagi. Dan gagal lagi. Begitu seterusnya. Hingga aku muak dan kehilangan arti cinta itu sendiri.”
“Bagaimana dengan persahabatan? Kau percaya?” Sekarang aku merasa seperti wartawan koran sedang mewawancarai seorang remaja.
“Jika persahabatan termasuk dalam kategori cinta, maka itu adalah satu-satunya cinta yang tidak bertepuk sebelah tangan yang pernah kualami.”
“Kau pernah membicarakan filosofimu ini kepada para sahabatmu?”
“Tidak. Mereka punya pandangan yang positif mengenai cinta. Cinta itu indah, sakral, dan manis. Itu menurut mereka. Aku tidak ingin merusak pandangan mereka. Mereka berhak mempunyai pandangan seperti itu.”
“Suatu saat pasti para sahabatmu akan mempunyai kehidupannya masing-masing, misalnya menikah atau bekerja di suatu tempat yang jauh dan menetap di sana, apa yang akan kau lakukan? Kau sendirian, ditinggalkan oleh cintamu.” Sial. Pertanyaanku sepertinya terlalu mendalam untuk pertemuan pertama. Aku benci mulutku, atau mungkin otakku, yang tidak bisa mengontrol apa yang seharusnya kukatakan.
“Itu… Itu yang selama ini kutakutkan. Entahlah.” Dian memandangiku dengan tatapan takut. “Bagaimana denganmu? Kau percaya cinta?”
“Aku percaya," jawabku. "Dan aku ingin menawarkannya padamu.”
“Apa?”
Aku angkat gelas Kopi Vietnam milikku.
“Jangan harap aku akan meminumnya,” kata Dian.
Aku meletakkan gelasku di hadapannya. Memaksanya. Dian menatap gelasku dengan sangsi, menimbang-nimbang.
“Satu tenggakan saja. Lagian kau punya Milo Dino yang sepertinya jauh lebih manis. Kau bisa meminum Milo Dino untuk menghilangkan rasa pahitnya,” kataku berusaha meyakinkannya. “Kau berhenti menulis blog karena kau tidak percaya cinta lagi, kan?”
“Kau menembak tepat pada sasaran, Adam,” kata Dian yang kemudian disusul dengan satu tenggakan Kopi Vietnam milikku olehnya.
“Yuuuccckkk!!!” Cepat-cepat Dian menyeruput Milo Dino-nya. Bukan menyeruput, lebih tepatnya menyedotnya.
“BWAHAHAHA!!! Welcome again to a thing called love!!!” seruku sambil mengangkat gelasku. “Selamat ulang tahun dan kembalilah menulis.”
NB: Gambar Kopi Vietnam diambil dari Cappucino Letter.